BAB I
PENDAHULUAN
1.
Pendahuluan
Islam
sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia
di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun
bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana
caranya berhubungan dengan Tuhan atau Khaliqnya, serta aturan bagaimana caranya
berhubungan dengan sesama makhluq, termasuk di dalamnya persoalan hubungan
dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya,
dalam mengemban tugas ini, manusia memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar
dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas dan tidak bertentang dengan
kehendak Allah SWT. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah SWT.
kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan tuntunan bagi
manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Umat islam
secara umu memiliki dua pedoman atau sumber hukum yang harus diikuti dan
ditaati sebagai tuntunan untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan perintah Allah.
Dua pedoman tersebut adalah Al-Qur’an karim dan As-sunah (hadits). Secara
singkat Al-Qur’an adalah pedoman umat islam yang datangnya langsung dari Allah
melalui wahyu yang disampaikan kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril.
Sedangkan As-Sunah adalah sumber umat islam pendukung umat islam yang datangnya
berasal dari apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik ucapanya,
perilakunya, ataupun ketetapanya.
Walaupun Hadits
diketahui sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur`an. Umat islam sendiri
terkadang kurang familiar dengan Hadist. Jarang sekali umat islam yang
melakukan kajian-kajian terhadap hadir. Berbeda Al Quran, banyak sekali majlis dan kegiatan
yang mengkaji tentang Al-Qur’an baik itu khatmil Qur’an, Tadarus dan lain sebagainya.
Dengan latar belakang di atas penulis mencoba untuk memaparkan tentang hadits
dan fungsinya terhadap Al-qur’an.
2.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah:
a) Mengetahui apa itu hadist
b) Mengetahui peranan Nabi muhammad
terhadap Al-Qur`an
c) Mengetahui fungsi Hadist terhadap
Al-Qur`an
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadits
Pengertian
Hadits dapat diartikan menurut dua cara yakni menurut bahasa dan menurut
terminoligi. Hadits menurut bahasa terdiri dari beberapa arti, yaitu :
1. Jadid
yang berarti baru
2. Qarid
yang artinya dekat, dan
3. Khabar
yang artinya berita
Sedangkan pengertian hadits secara terminologis adalah Segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan
(taqrir) dan sebagainya.
Seperti disebutkan di atas, bahwa definisi ini memuat empat elemen, yaitu
perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat lain. Secara lebih jelas dari
ke empat elemen tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1. Perkataan
Yang
dimaksud dengan perkataan adalah segala perkataan yang pernah diucapkan oleh
Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bidang, seperti bidang syariah, akhlaq,
aqidah, pendidikan dan sebagainya.
2. Perbuatan
Perbuatan
adalah penjelasan-penjelasan praktis Nabi Muhammad SAW terhadap peraturan-peraturan
syara’ yang belum jelas teknis pelaksanaannya. Seperti halnya jumlah rakaat,
cara mengerjakan haji, cara berzakar dan lain-lain. Perbuatan nabi yang
merupakan penjelas tersbut haruslah diikuti dan dipertegas dengan sebuah
sabdanya.
3. Taqrir
Taqrir
adalah keadaan beliau yang mendiamkan atau tidak mengadakan sanggahan dan
reaksi terhadap tindakan atau perilaku para sahabatnya serta menyetujui apa
yang dilakukan oleh para sahabatnya itu.
4. Sifat,
Keadaan dan Himmah Rasululloh
Sifat-sifat,
dan keadaan himmah Nabi Muhammad SAW adalah merupakan komponen Hadits yang
meliputi :
-
Sifat-sifat Nabi yang digambarkan dan dituliskan oleh para sahabatnya dan dan
para ahli sejarah baik mengenai sifat jasmani ataupun moralnya
- Silsilah
(nasab), nama-nama dan tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para sejarawan
- Himmah
(keinginan) Nabi untuk melaksanakan suatu hal, seperti keinginan beliau untuk
berpuasa setiap tanggal 9 Muharram.
2. Posisi nabi muhammad terhadap Al-Qur`an
Nabi Muhammad saw adalah sosok manusia yang
memiliki tauladan yang mulia. Beliau diutus dengan misi kerahmatan seluruh alam
dengan tuntunan wahyu Tuhan dalam setiap langkahnya. Keindahan budi pekerti dan
aura kebaikan yang terus terpancar menjadikan seluruh mahluk memujinya. Tak
hanya dari kaum muslim yang mengidolakannya, namun para sarjana barat
mengimitasi dan mengikuti langkah beliau dalam suksesi kehidupan. Michael
heart, misalnya, memposisikan beliau pada posisi yang pertama dalam hal tokoh
terkemuka dunia sepanjang zaman melebihi para cendikiawan yang lain.
Dalam Al-Qur’an, banyak sekali yang
menyebut kedudukan Nabi Muhammad secara tersurat. Namun, disini kami hanya
menyebut secara garis besar tentang kedudukan mulia yang dimilikinya. Yaitu:
1.
Sebagai
Uswatun Hasanah
Sebagai panutan bagi
seluruh umat manusia di seantero dunia. Keteladanan yang beliau miliki
diabadikan Allah dalam kalamya yang agung:
لقد كان لكم في ر سو ل ا
لله اسوة حسنة لمن كا ن يرجو الله و اليوم الا خر ود كر الله كثيرا
“sungguh
ada pada diri Rasul Allah (Muhammad) sebuah tauladan yang baik bagi orang-orang
yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan yang banyak mengingatnya”. Dari pernyataan
ini, kita dapat mengambil sebuah pelajaran bahwa dalam diri Muhammad terdapat
segala kebaikan yang dapat dijadikan
panutan. Beliau telah memberikan kontribusi besar dalam merevolusi kegelapan
umat menuju pada cahaya tauhid melalui tauladan-tauladan baik yang beliau
contohkan.
Hal itu dapat berupa
sifat dan amal yang selalu menimbulkan kesejukan bagi para pengikutnya.
Tauladan tersebut tidak hanya berasal dari dhohir, melainkan mengasah batin
kita termasuk meneladaninya sehingga dapat diwajahwantahkan dalam aplikasi
kehidupan yang terus berkelanjutan.
2.
Sebagai
Rahmat Bagi Seluruh Alam
Nabi Muhammad diutus
tidak hanya bagi umat islam, melainkan beliau menebarkan semerbak kasih sayang
bagi seluruh mahluk di seantero jagat raya. Dalam hal ini, Allah mengabadikannya
dalam kalamnya:
وما
ارسلناك الا رحمة للعالمين
“
Dan tidaklah Aku mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi
semesta alam”. Dari ayat ini, kita dapat mengambil suatu pengertian bahwa
beliau diutus sebagai penebar kasih sayang pada agama, golongan mahluk apapun
tanpa memandang dari mana asalnya. Oleh Karena itu, islam disebut sebagai agama
kasih sayang.
3.
Memiliki
budi yang luhur
Berdasarkan
entitas beliau sebagai manusia yang memiliki etika dan estetika, banyak dari
ayat Al-Qur’an yang menyanjungnya, diantaranya: وانك
لعلى خلق عظيم“
Dan sungguh bagimu akhlaq yang mulia”.
Ayat di atas
menerangkan bahwa beliau disanjung oleh yang penguasa langit dan bumi karena
keagungan akhlaq yang beliau miliki. Ayat di atas senada dengan sabda Nabi yang
berbunyi: انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق. Bahkan Siti
Aisyah RA ketika ditanyakan tentang sifat Nabi, beliau menjawab: كان
خلقه القران
(Akhlaq Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an).
4.
Dinobatkan
Sebagai Peraih Gelar Ulul Azmi
Dalam hal
ini AllaH mengabadikannya dalam Al-Qur’an sebagai pembuktian aka gelar
tersebut:
“Bersabarlah engkau
(hai Muhammad) sebagaimana sabarnya para nabi ulul azmi.” (QS.
al Ahqaf: 35). Ulul azmi maksudnya para Nabi yang membawa syaria’t dan memiliki
tekad yang kuat (azm). Mereka diutamakan oleh Allah melebihi atas para nabi
yang lain kendatipun para rasul yang membawa misi tauhid. Dalam hal ini Allah
mengabadikannya dalam firmannya:
تلك الرسل فضلنا
بعضهم على بعض منهم من كلم الله ورفع بعضهم على بعض
“Rasul-rasul
itu kami utamakan atas sebagian yang lain, sebagin dari mereka berdialog
langsung dengan Alla dan Allah mengangkat sebagian atas sebagian yang lain”
(QS. An-Nisa’). Dari ayat ini sangat jelas bahwa Muhammad berada diantara
mereka karena beliau sang pembawa risalah yang memiliki kredibilitas yang
memadai. Diantara sekian banyak Nabi Allah, pertama kali yang membawa
syaria’tnya adalah Nabi Nuh as. Nabi-nabi setelanya meneruskan ajara Nuh sampai
pada masa Ibrahim. Beliau membawa misi islam dengan tidak berorientasi terhadap
Nuh. Begitu juga seterusnya dilanjutkan oleh para nabi setelah Ibrahim sampai
pada Nabi Musa. Setelah itu dilanjutkan sampai datangnya Nabi Isa hingga yang
terakhir datanglah sang pamungkas para Nabi dengan membawa misi ketauhidan.
5. Sebagai Hamba Allah Pertama Yang Mengambil
Perjanjian
Dalam hal ini, Allah mengabadikannya
dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
øÎ)ur $tRõs{r& z`ÏB z`¿ÍhÎ;¨Y9$# öNßgs)»sVÏB ZÏBur `ÏBur 8yqR tLìÏdºtö/Î)ur 4ÓyqãBur Ó|¤Ïãur Èûøó$# zNtótB ( $tRõs{r&ur Nßg÷YÏB $¸)»sWÏiB $ZàÎ=xî ÇÐÈ
"Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari
nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam,
dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh." (QS. al
Ahzab: 7).
Ayat
di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia pertama yang menyaksikan
bahwa Allah adalah Tuhan semesta sebelum para mahluk mengadakan pengakuan itu.
Dalam suatu keterangan, seluruh alam dan isinya ini tercipta dari nur Muhammad
yang diciptakan pertama kali oleh Allah sebelum semuanya ada. Pernyataan ini
diperkuat dengan sabda Nabi yang berbunyi: “”Aku
telah menjadi Nabi sementara Adam masih berupa antara air dan tanah.” Dari
hadits ini kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa Muhammad telah tercipta
nur (ruh) nya sebelum terciptanya alam namun jasad beliau masih belum
tercipta.Kendatipun beliau menjadi Nabi terkahir, namun pada esensinya beliau
adalah mahluk pertama yang tercipta. Selain itu, redaksi lain yang ada di dalam
Al-Qur’an sebagai penguat kehambaan beliau ada dalam surat Al-Isra’:
z`»ysö6ß üÏ%©!$# 3uó r& ¾ÍnÏö7yèÎ/ Wxøs9 ÆÏiB ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# n<Î) ÏÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtÎã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»t#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìÏJ¡¡9$# çÅÁt7ø9$# ÇÊÈ
“ Maha Suci Dzat
yang telah menjalankan hambanya pada suatu malam dari Masjidil Haram menuju
Masjidil Al-Aqsha yang telah kami berkati keadaannya supaya ayat-ayat kami
jelas baginya, sesungguhnya Dialah Dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat”.
Dalam ayat ini Allah menyebut kata” عبد”tidak dengan “ نبي” atau “رسول ” sebagai
pembuktian bahwa beliau adalah hamba Allah yang pertama menyaksikan atas
Ketuhanan Allah SWT.
3. Fungsi Hadits terhadap Al-qur`an
a) Hadits sebagai bayan tafsir
Tafsir
adalah keterangan atas Al-Qur’an yang belum dimengerti Maksudnya, penjelasan
atas ayat- ayat Al-Qur’an Tafsir secara Etimologis adalah penjelasan dan
mengungkapkan kata tafsir diambil dari kata fassara – yupassiru- tafsiran yang
berarti keterangan atau uraian. Pada dasarnya kata tafsir berdasarkan bahasa
tidak terlepas dari kandungan makna Al-Qur’an (Menjelaskan) Al-Bayan
(Menerangkan) Al-Kasif (Mengungkapkan), Al-Azhar (Menampakkan) dan Al-Ibanah (
Menjelaskan ). Tafsir secara Istilah adalah ilmu yang membahas tentang cara
mengucap lapaz Al-Qur’an, makna-makan yang ditujukan dan hukum-hukumnya, baik
ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makna yang dimungkinkannya
ketika dalam keadaan tersusun. Dari penjelasan diatas pemakalah mencoba
menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tafsir adalah menjelaskan atau
menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang belum paham maksudnya.
Sedangkan fungsi hadits sebagai bayan tafsir tyaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : ” Shallu kama ro-aitumuni ushalli “. (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : ” Aqimush- shalah “, (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: ” Khudzu ‘anni manasikakum ” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an ” Waatimmulhajja ” (Dan sempurnakanlah hajimu).
Secara etimologi tafsir juga bisa berarti Penjelasan, Pengungkapan, dan Menjabarkan kata yang samar atau ada penjelasan terhadap makna yang terkandung dalam ayat a\Al-Qur’an tersebut. Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
Contoh
dari fungsi hadits sebagai bayan tafsir salah satunya adalah dalam perintah
sholat, kita diperintahkan untuk sholat, namun Al-Qur`an tidak menjelaskan
bagaimana tata cara sholat, tidak menerangkan rukun-rukunya, dan kapan waktu
pelaksanaanya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oeh nabi
Muhammad dengan sabdanya:
“shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat”.
(H.R Muslim)
Sebagaimana
yang tersurat dalam hadits tersebut, rasulullah memberikan contoh tata cara
sholat yang sempurna, bukan hanya itu beliau melengkapi dengan berbagai
kegiatan yang dapat menambah pahala shalat.
b) Hadits sebagai bayan taqrir
Bayan
At-taqrir atau sering disebut bayan At-ta’kid dan bayan Al-itsbat adalah hadits
yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan dalam Al-Qur`an.
Dalam hal ini hadits hanya untuk memperkokoh isi kandungan al-Qur`an. Contoh
bayan taqrir salah satunya adalah bayan yang memperkuat firman Allah surat
Al-Baqarah ayat 185:
185.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Ayat
tersebut di taqrir oleh nabi hadits muhammad yaitu:
“apabila
kalian melihat (ru’yat), berpuasalah, begitu pula apabila melihat ru’yat bulan
itu, berbukalah” (H.R muslim dari ibnu umar)
Contoh lain bayan
taqrir adalah, hadist yang memperkuat surat al maidah ayat 6
6. Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu
sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Ayat
di atas di taqrir dengan hadits nabi muhammad yaitu:
“Rasulullah
SAW bersabda “tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia
berwudhu” (HR.bukhari dari abu hurairah).
c) Hadits sebagai bayan tabdal atau nasakh
Secara bahasa, An- naskh bisa berarti
Al- ibthal (membatalkan), Al- ijalah (menghilangkan), at- Tahwil (memindahkan),
atau At-Tagyir (mengubah)
Para ulama baik mutaqaddimin maupun
mu`akhirin berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata naskh dari segi
kebahasaan.
Menurut ulama mutaqaddimin, yang
dimaksud dengan bayan an-naskh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian.
Dari pengertian tersebut menurut ulama’ yang setuju dengan adanya fungsi bayan
bayan an-naskh dapat dipahami bahwa hadits sebagai ketentuan yang datang
berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi alqur`an yang datang
kemudia.
Diantar ulama’ yang membolehkan adanya
naskh hadits terhadap Al-Qur`an juga berbeda dalam macam hadits yang dapat
dipakai dalam me-naskh Al-Qur`an. Dalam hal ini mereka terbagi atas tiga
kelompok.
Pertama,
yang membolehkan me-naskh Al-qur`an dengan segala hadits, meskipun hadits ahad
, pendapat ini dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan ibn hazm serta
sebagian besar pengikut Zhahiriah.
Kedua, yang
membolehkan me-naskh Al-Qur’an dengan syarat hadits yang digunakan harus
mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh mu’tazilah.
Ketiga, ulama’
yang membolehkan me-naskh dengan hadits masyhur tanpa harus dengan mutawatir.
Pendapat ini diantaranya dipegang oleh ulama Hanafiyah.
Salah satu contoh yang biasa diajukan
oleh para ulama adalah sabda Rasulullah SAW dari abu umamah Al bahili yang
artinya:
Rasulullah SAW bersabda.”
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya
(masing-masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris” (H.R Ahmad dan Al
Arba’ah, secuali An Nasa’i. Dahits ini dinilai hasan oleh ahmad dan at-Tarmidzi
Hadits ini menurut mereka me-naskh isi
Al-Qur`an surat Albawarah ayat 180:
180.
diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.
Kewajiban melakukan wasit kepada kaum
kerabat dekat berdasarkan sural Al-baqarah ayat 180 di atas, di naskh hukumnya
oleh hadits yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan
wasiat.
d) Hadits sebagai bayan taudhih
Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur'an, seperti pernyataan
Nabi : " Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik
harta-hartamu yang sudah dizakati ", adalah taudhih ( penjelasan )
terhadap ayat Al-Qur'an dalam surat at-Taubah : 34 yang berbunyi sebagai
berikut :
34.
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang
alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan
jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih,
". Pada waktu ayat ini turun banyak
para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka
bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
e) Hadits sebagai bayan taqyid
Bayan taqyid adalah penjelasan
terhadap Al-Qur’an dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan
keadaan, sifat dan syarat tertentu. Istilah mutlak maksudnya adalah hakikat
dari suatu ayat yang hanya berorientasi pada dhohirnya tanpa memiliki limitasi
yang dapat membuat pagar hukum yang sistematis. Adapun contoh hadits yang
memiliki pembatasan hukum adalah:
“tangan
pencuri dipotong jika mencuri seperempat dinar atau lebih”.
Hadits
di atas dalam prakteknya yaitu membatasi hukuman pencuri yang secara hukum
tetap ia dipotong tangannya sebagaimana dijelaskan secara mutlak dalam ayat:
والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما
الخ
“Dan
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”
(QS. 5:8). Ayat ini menjelaskan tentang hukum mutlak potong tangan bagi pencuri
laki-laki dan perempuan tanpa ada suatu pembatas takaran curiannya. Ayat ini
mengobligasikan potong tangan secara mutlak. Maka, kemudian hadits datang untuk
membatasi hukum bahwa yang dikenakan potongan tangan adalah bagi mereka yang
mencuri seperempat dinar atau lebih.
f) Hadits sebagai bayan takhsish
Bayan takhsish adalah penjelasan
Nabi dengan cara megkhusukan ayat-ayat yang bersifat umum. Dengan adanya
pengecualian ini, maka hukum tidak berlaku pada yang mendapatkan pengecualian
dengan pengecualian itu. Misalnya hadits yang menjelaskan masalah warisan diantara
para Nabi: “kami para Nabi tidak diwarisi, sesuatu yang kami tinggalkan adalah
sedekah”. Hadits ini sebagai pengecualian dari keumuman firman Allah tentang
warisan yang diwajibkan bagi seluruh umat islam. Ayat tersebut yaitu:
كتب عليكم اذا حضر احدكم الموت الخ
“ Allah mensyariatkan kepadamu tentang
pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan
bagian dua anak perempuan”.
Dalam ayat ini, umat islam
disyariatkan oleh Allah untuk mewariskan harta peninggalannya, yaitu bagian satu
anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Dengan fenomena keumuman
ayat ini, datanglah hadits untuk memberikan kekhususan bahwa para Nabi tidak
dikenakan kewajiban untuk mewariskan hartanya karena setiap harta yang
ditinggalkan adalah sedekah.
g) Hadits sebagai bayan Tasyri’
Bayan tasyri’ adalah penjelasan
hadits Nabi yang mendesisikan suatu ketetapan hukum secara independen yang
tidak didapati dalam nash-nash Al-Qur’an secara tekstual. Penjelasan itu muncul
dengan sebab adanya permasalahan-permasalahan yang timbul diantara masyarakat.
Disinalah hadits Nabi mengeluarkan penjelasan dan sekaligus keputusan dengan
tidak berorientsi terhadap Al-Qur’an namun tetap ada bimbingan langsung dari
sang pemilik semesta, Allah SWT.
Misalnya hadits Nabi: “seorang perempuan tidak boleh dipoligami bersama
bibinya dari pihak ibu dan bibinya”.
Hadits
di atas menjelaskan bahwa seseorang dilarang mempoligami perempuan bersamaan
dengan bibinya. Disini Nabi memutuskan suatu hukum akan larangan itu. Dalam
Al-Qur’an tidak ada sebuah ayat tersurat tentang larangan mengawini perempuan
bersamaan dengan bibinya baik dari arah ayah maupun ibu. Hanya ada dalam
Al-Qur’an keterangan-keterangan tentang dilarangnya menikahi perempuan beserta
kelurganya, seperti ibu, saudara, anak dan sebagainya. Disinilah hadits
mejelaskan haramnya menikahi bibi perempuan yang dinikahi tanpa berorientasi
terhadap Al-Qur’an dalam membuat
keputusan itu.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Al-Qur`an memang merupakan pedoman umat
islam yang utama, namun isi dan redaksi dari Al-qur`an itu senditi masih sangat
bersifat global. Maka dari itu kedudukan hadits dalam islam yang utama adalah
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur`an yang masih global. Rasulullah diperintahkan
untuk menjelaskan tiap-tiap ajaran kepada para sahabat setelah beliau
mendapatkan penjelasan dari jibril.
Peran kedua adalah agar hadits menjadi
pedoman ketika muncul persoalan-persoalan yang tidak secara spesifik terdapat
dalam Al-Qur`an. Setelah masa Rasulullah SAW. Al-Qur`an dan Hadits dijadikan
sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan aturan lainya. Karena
tidak menutup kemungkinan perseteruan akan terjadi di masa yang akan datang
berhubungan dengan hukum dalam Al-qur`an.
Peran yang ketiga, menjaga agar
ayat-ayat Al-Qur`an tidak secara sembarangan dilencengkan sehingga seolah
ayat-ayat Al-Qur’an berkontradiksi. Penjelasan Rasulullah sudah merupakan
penjelasan yang dapat dipahami bahwa juga telah ditafsirkan mendalam oleh para
ulama.
Rasulullah yang bergelar uswatun hasanah
segala ucapan dan kepribaianya adalah pencitraan dari Al-Qur`an. Sehingga umat
islam yang mengikuti hadits-hadits rasulullah adalah mereka yang juga taat
kepada Al-Qur`an
2. Saran
Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu
hadits selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah sekalipun belum dinyatakan
sebagai ilmu explisit, pada masa nabi tidak ada persoalan karena setiap ada
masalah langsung diibicarakan dengan nabi.
Mengingat luasnya materi dari study
hadits ini besar harapan kami untuk kelompok selanjutnya agar menguraikan
materi sesuai dengan bahasan masing-masing, serta kepada pembimbing dalam hal
ini dosen untuk selalu memberikan pengayaan. Tentunya dengan satu jutuan
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita yang berhubungand dengan study
hadits (ulumul hadits).
DAFTAR
PUSTAKA
Fatah, MA.2009. Hadits-Haditas
Imam Ahmad.Bandung:PT. Remaja Rosdakarya
Idri, Dr. 2010. Study
Hadits.Jakarta:PRENADA MEDIA GRUP
Al-Qur`an Karim
Kamus Populer
Bahasa Indonesia