Selasa, 01 Mei 2012

fungsi hadits terhadap alquran


BAB I
PENDAHULUAN

1.    Pendahuluan
Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau Khaliqnya, serta aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama makhluq, termasuk di dalamnya persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam mengemban tugas ini, manusia memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas dan tidak bertentang dengan kehendak Allah SWT. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan tuntunan bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Umat islam secara umu memiliki dua pedoman atau sumber hukum yang harus diikuti dan ditaati sebagai tuntunan untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan perintah Allah. Dua pedoman tersebut adalah Al-Qur’an karim dan As-sunah (hadits). Secara singkat Al-Qur’an adalah pedoman umat islam yang datangnya langsung dari Allah melalui wahyu yang disampaikan kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Sedangkan As-Sunah adalah sumber umat islam pendukung umat islam yang datangnya berasal dari apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik ucapanya, perilakunya, ataupun ketetapanya.
Walaupun Hadits diketahui sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur`an. Umat islam sendiri terkadang kurang familiar dengan Hadist. Jarang sekali umat islam yang melakukan kajian-kajian terhadap hadir. Berbeda  Al Quran, banyak sekali majlis dan kegiatan yang mengkaji tentang Al-Qur’an baik itu khatmil Qur’an, Tadarus dan lain sebagainya. Dengan latar belakang di atas penulis mencoba untuk memaparkan tentang hadits dan fungsinya terhadap Al-qur’an.  
2.    Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
a)      Mengetahui apa itu hadist
b)      Mengetahui peranan Nabi muhammad terhadap Al-Qur`an
c)      Mengetahui fungsi Hadist terhadap Al-Qur`an
BAB II
PEMBAHASAN
1.    Pengertian Hadits
Pengertian Hadits dapat diartikan menurut dua cara yakni menurut bahasa dan menurut terminoligi. Hadits menurut bahasa terdiri dari beberapa arti, yaitu :
1. Jadid yang berarti baru
2. Qarid yang artinya dekat, dan
3. Khabar yang artinya berita
Sedangkan pengertian hadits secara terminologis adalah Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
Seperti disebutkan di atas, bahwa definisi ini memuat empat elemen, yaitu perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat lain. Secara lebih jelas dari ke empat elemen tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1. Perkataan
Yang dimaksud dengan perkataan adalah segala perkataan yang pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bidang, seperti bidang syariah, akhlaq, aqidah, pendidikan dan sebagainya.
2. Perbuatan
Perbuatan adalah penjelasan-penjelasan praktis Nabi Muhammad SAW terhadap peraturan-peraturan syara’ yang belum jelas teknis pelaksanaannya. Seperti halnya jumlah rakaat, cara mengerjakan haji, cara berzakar dan lain-lain. Perbuatan nabi yang merupakan penjelas tersbut haruslah diikuti dan dipertegas dengan sebuah sabdanya.
3. Taqrir
Taqrir adalah keadaan beliau yang mendiamkan atau tidak mengadakan sanggahan dan reaksi terhadap tindakan atau perilaku para sahabatnya serta menyetujui apa yang dilakukan oleh para sahabatnya itu.
4. Sifat, Keadaan dan Himmah Rasululloh
Sifat-sifat, dan keadaan himmah Nabi Muhammad SAW adalah merupakan komponen Hadits yang meliputi :
- Sifat-sifat Nabi yang digambarkan dan dituliskan oleh para sahabatnya dan dan para ahli sejarah baik mengenai sifat jasmani ataupun moralnya
- Silsilah (nasab), nama-nama dan tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para sejarawan
- Himmah (keinginan) Nabi untuk melaksanakan suatu hal, seperti keinginan beliau untuk berpuasa setiap tanggal 9 Muharram.

2.    Posisi nabi muhammad terhadap Al-Qur`an
Nabi Muhammad saw adalah sosok manusia yang memiliki tauladan yang mulia. Beliau diutus dengan misi kerahmatan seluruh alam dengan tuntunan wahyu Tuhan dalam setiap langkahnya. Keindahan budi pekerti dan aura kebaikan yang terus terpancar menjadikan seluruh mahluk memujinya. Tak hanya dari kaum muslim yang mengidolakannya, namun para sarjana barat mengimitasi dan mengikuti langkah beliau dalam suksesi kehidupan. Michael heart, misalnya, memposisikan beliau pada posisi yang pertama dalam hal tokoh terkemuka dunia sepanjang zaman melebihi para cendikiawan yang lain.
Dalam Al-Qur’an, banyak sekali yang menyebut kedudukan Nabi Muhammad secara tersurat. Namun, disini kami hanya menyebut secara garis besar tentang kedudukan mulia yang dimilikinya. Yaitu:
1.   Sebagai Uswatun Hasanah
Sebagai panutan bagi seluruh umat manusia di seantero dunia. Keteladanan yang beliau miliki diabadikan Allah dalam kalamya yang agung:
لقد كان لكم في ر سو ل ا لله اسوة حسنة لمن كا ن يرجو الله و اليوم الا خر ود كر الله كثيرا
“sungguh ada pada diri Rasul Allah (Muhammad) sebuah tauladan yang baik bagi orang-orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan yang banyak mengingatnya”. Dari pernyataan ini, kita dapat mengambil sebuah pelajaran bahwa dalam diri Muhammad terdapat segala kebaikan  yang dapat dijadikan panutan. Beliau telah memberikan kontribusi besar dalam merevolusi kegelapan umat menuju pada cahaya tauhid melalui tauladan-tauladan baik yang beliau contohkan.
Hal itu dapat berupa sifat dan amal yang selalu menimbulkan kesejukan bagi para pengikutnya. Tauladan tersebut tidak hanya berasal dari dhohir, melainkan mengasah batin kita termasuk meneladaninya sehingga dapat diwajahwantahkan dalam aplikasi kehidupan yang terus berkelanjutan.
2.      Sebagai Rahmat Bagi Seluruh Alam
Nabi Muhammad diutus tidak hanya bagi umat islam, melainkan beliau menebarkan semerbak kasih sayang bagi seluruh mahluk di seantero jagat raya. Dalam hal ini, Allah mengabadikannya dalam kalamnya:
وما ارسلناك الا رحمة للعالمين
“ Dan tidaklah Aku mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam”. Dari ayat ini, kita dapat mengambil suatu pengertian bahwa beliau diutus sebagai penebar kasih sayang pada agama, golongan mahluk apapun tanpa memandang dari mana asalnya. Oleh Karena itu, islam disebut sebagai agama kasih sayang.
3.      Memiliki budi yang luhur
Berdasarkan entitas beliau sebagai manusia yang memiliki etika dan estetika, banyak dari ayat Al-Qur’an yang menyanjungnya, diantaranya: وانك لعلى خلق عظيم“ Dan sungguh bagimu akhlaq yang mulia”.
Ayat di atas menerangkan bahwa beliau disanjung oleh yang penguasa langit dan bumi karena keagungan akhlaq yang beliau miliki. Ayat di atas senada dengan sabda Nabi yang berbunyi: انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق. Bahkan Siti Aisyah RA ketika ditanyakan tentang sifat Nabi, beliau menjawab: كان خلقه القران (Akhlaq Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an).
4.      Dinobatkan Sebagai Peraih Gelar Ulul Azmi
Dalam hal ini AllaH mengabadikannya dalam Al-Qur’an sebagai pembuktian aka gelar tersebut:
“Bersabarlah engkau (hai Muhammad) sebagaimana sabarnya para nabi ulul azmi.” (QS. al Ahqaf: 35). Ulul azmi maksudnya para Nabi yang membawa syaria’t dan memiliki tekad yang kuat (azm). Mereka diutamakan oleh Allah melebihi atas para nabi yang lain kendatipun para rasul yang membawa misi tauhid. Dalam hal ini Allah mengabadikannya dalam firmannya:
تلك الرسل فضلنا بعضهم على بعض منهم من كلم الله ورفع بعضهم على بعض
   “Rasul-rasul itu kami utamakan atas sebagian yang lain, sebagin dari mereka berdialog langsung dengan Alla dan Allah mengangkat sebagian atas sebagian yang lain” (QS. An-Nisa’). Dari ayat ini sangat jelas bahwa Muhammad berada diantara mereka karena beliau sang pembawa risalah yang memiliki kredibilitas yang memadai. Diantara sekian banyak Nabi Allah, pertama kali yang membawa syaria’tnya adalah Nabi Nuh as. Nabi-nabi setelanya meneruskan ajara Nuh sampai pada masa Ibrahim. Beliau membawa misi islam dengan tidak berorientasi terhadap Nuh. Begitu juga seterusnya dilanjutkan oleh para nabi setelah Ibrahim sampai pada Nabi Musa. Setelah itu dilanjutkan sampai datangnya Nabi Isa hingga yang terakhir datanglah sang pamungkas para Nabi dengan membawa misi ketauhidan.

5.  Sebagai Hamba Allah Pertama Yang Mengambil Perjanjian
Dalam hal ini, Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
øŒÎ)ur $tRõs{r& z`ÏB z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# öNßgs)»sVÏB šZÏBur `ÏBur 8yqœR tLìÏdºtö/Î)ur 4ÓyqãBur Ó|¤ŠÏãur Èûøó$# zNtƒótB ( $tRõs{r&ur Nßg÷YÏB $¸)»sWÏiB $ZàŠÎ=xî ÇÐÈ  

"Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh." (QS. al Ahzab: 7).
    Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia pertama yang menyaksikan bahwa Allah adalah Tuhan semesta sebelum para mahluk mengadakan pengakuan itu. Dalam suatu keterangan, seluruh alam dan isinya ini tercipta dari nur Muhammad yang diciptakan pertama kali oleh Allah sebelum semuanya ada. Pernyataan ini diperkuat dengan sabda Nabi yang berbunyi: “”Aku telah menjadi Nabi sementara Adam masih berupa antara air dan tanah.” Dari hadits ini kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa Muhammad telah tercipta nur (ruh) nya sebelum terciptanya alam namun jasad beliau masih belum tercipta.Kendatipun beliau menjadi Nabi terkahir, namun pada esensinya beliau adalah mahluk pertama yang tercipta. Selain itu, redaksi lain yang ada di dalam Al-Qur’an sebagai penguat kehambaan beliau ada dalam surat Al-Isra’:
z`»ysö6ß üÏ%©!$# 3uŽó r& ¾ÍnÏö7yèÎ/ Wxøs9 šÆÏiB ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# n<Î) ÏÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$# Ï%©!$# $oYø.t»t/ ¼çms9öqym ¼çmtƒÎŽã\Ï9 ô`ÏB !$oYÏG»tƒ#uä 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìŠÏJ¡¡9$# 玍ÅÁt7ø9$# ÇÊÈ  

“ Maha Suci Dzat yang telah menjalankan hambanya pada suatu malam dari Masjidil Haram menuju Masjidil Al-Aqsha yang telah kami berkati keadaannya supaya ayat-ayat kami jelas baginya, sesungguhnya Dialah Dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat”. Dalam ayat ini Allah menyebut kata” عبد”tidak dengan “ نبي” atau “رسول ” sebagai pembuktian bahwa beliau adalah hamba Allah yang pertama menyaksikan atas Ketuhanan Allah SWT.
3.    Fungsi Hadits terhadap Al-qur`an
a)      Hadits sebagai bayan tafsir

Tafsir adalah keterangan atas Al-Qur’an yang belum dimengerti Maksudnya, penjelasan atas ayat- ayat Al-Qur’an Tafsir secara Etimologis adalah penjelasan dan mengungkapkan kata tafsir diambil dari kata fassara – yupassiru- tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Pada dasarnya kata tafsir berdasarkan bahasa tidak terlepas dari kandungan makna Al-Qur’an (Menjelaskan) Al-Bayan (Menerangkan) Al-Kasif (Mengungkapkan), Al-Azhar (Menampakkan) dan Al-Ibanah ( Menjelaskan ). Tafsir secara Istilah adalah ilmu yang membahas tentang cara mengucap lapaz Al-Qur’an, makna-makan yang ditujukan dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun. Dari penjelasan diatas pemakalah mencoba menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tafsir adalah menjelaskan atau menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang belum paham maksudnya.

Sedangkan fungsi hadits sebagai bayan tafsir tyaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : ” Shallu kama ro-aitumuni ushalli “. (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : ” Aqimush- shalah “, (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: ” Khudzu ‘anni manasikakum ” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an ” Waatimmulhajja ” (Dan sempurnakanlah hajimu).
Secara etimologi tafsir juga bisa berarti Penjelasan, Pengungkapan, dan Menjabarkan kata yang samar atau ada penjelasan terhadap makna yang terkandung dalam ayat a\Al-Qur’an tersebut. Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
Contoh dari fungsi hadits sebagai bayan tafsir salah satunya adalah dalam perintah sholat, kita diperintahkan untuk sholat, namun Al-Qur`an tidak menjelaskan bagaimana tata cara sholat, tidak menerangkan rukun-rukunya, dan kapan waktu pelaksanaanya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oeh nabi Muhammad dengan sabdanya:
“shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat”. (H.R Muslim)
Sebagaimana yang tersurat dalam hadits tersebut, rasulullah memberikan contoh tata cara sholat yang sempurna, bukan hanya itu beliau melengkapi dengan berbagai kegiatan yang dapat menambah pahala shalat.

b)     Hadits sebagai bayan taqrir
Bayan At-taqrir atau sering disebut bayan At-ta’kid dan bayan Al-itsbat adalah hadits yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan dalam Al-Qur`an. Dalam hal ini hadits hanya untuk memperkokoh isi kandungan al-Qur`an. Contoh bayan taqrir salah satunya adalah bayan yang memperkuat firman Allah surat Al-Baqarah ayat 185:
  
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Ayat tersebut di taqrir oleh nabi hadits muhammad yaitu:
“apabila kalian melihat (ru’yat), berpuasalah, begitu pula apabila melihat ru’yat bulan itu, berbukalah” (H.R muslim dari ibnu umar)

Contoh lain bayan taqrir adalah, hadist yang memperkuat surat al maidah ayat 6

6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Ayat di atas di taqrir dengan hadits nabi muhammad yaitu:
“Rasulullah SAW bersabda “tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu” (HR.bukhari dari abu hurairah).


c)      Hadits sebagai bayan tabdal atau nasakh

Secara bahasa, An- naskh bisa berarti Al- ibthal (membatalkan), Al- ijalah (menghilangkan), at- Tahwil (memindahkan), atau At-Tagyir (mengubah)
Para ulama baik mutaqaddimin maupun mu`akhirin berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata naskh dari segi kebahasaan.
Menurut ulama mutaqaddimin, yang dimaksud dengan bayan an-naskh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dari pengertian tersebut menurut ulama’ yang setuju dengan adanya fungsi bayan bayan an-naskh dapat dipahami bahwa hadits sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi alqur`an yang datang kemudia.
Diantar ulama’ yang membolehkan adanya naskh hadits terhadap Al-Qur`an juga berbeda dalam macam hadits yang dapat dipakai dalam me-naskh Al-Qur`an. Dalam hal ini mereka terbagi atas tiga kelompok.
Pertama, yang membolehkan me-naskh Al-qur`an dengan segala hadits, meskipun hadits ahad , pendapat ini dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan ibn hazm serta sebagian besar pengikut Zhahiriah.
Kedua, yang membolehkan me-naskh Al-Qur’an dengan syarat hadits yang digunakan harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh mu’tazilah.
Ketiga, ulama’ yang membolehkan me-naskh dengan hadits masyhur tanpa harus dengan mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh ulama Hanafiyah.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama adalah sabda Rasulullah SAW dari abu umamah Al bahili yang artinya:
Rasulullah SAW bersabda.” Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris” (H.R Ahmad dan Al Arba’ah, secuali An Nasa’i. Dahits ini dinilai hasan oleh ahmad dan at-Tarmidzi
Hadits ini menurut mereka me-naskh isi Al-Qur`an surat Albawarah ayat 180:
  
180. diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Kewajiban melakukan wasit kepada kaum kerabat dekat berdasarkan sural Al-baqarah ayat 180 di atas, di naskh hukumnya oleh hadits yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.

d)     Hadits sebagai bayan taudhih

Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur'an, seperti pernyataan Nabi : " Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati ", adalah taudhih ( penjelasan ) terhadap ayat Al-Qur'an dalam surat at-Taubah : 34 yang berbunyi sebagai berikut :
  
34. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,


". Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.

e)      Hadits sebagai bayan taqyid

Bayan taqyid adalah penjelasan terhadap Al-Qur’an dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan keadaan, sifat dan syarat tertentu. Istilah mutlak maksudnya adalah hakikat dari suatu ayat yang hanya berorientasi pada dhohirnya tanpa memiliki limitasi yang dapat membuat pagar hukum yang sistematis. Adapun contoh hadits yang memiliki pembatasan hukum adalah:

“tangan pencuri dipotong jika mencuri seperempat dinar atau lebih”.
Hadits di atas dalam prakteknya yaitu membatasi hukuman pencuri yang secara hukum tetap ia dipotong tangannya sebagaimana dijelaskan secara mutlak dalam ayat:
والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما الخ
“Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (QS. 5:8). Ayat ini menjelaskan tentang hukum mutlak potong tangan bagi pencuri laki-laki dan perempuan tanpa ada suatu pembatas takaran curiannya. Ayat ini mengobligasikan potong tangan secara mutlak. Maka, kemudian hadits datang untuk membatasi hukum bahwa yang dikenakan potongan tangan adalah bagi mereka yang mencuri seperempat dinar atau lebih.

f)       Hadits sebagai bayan takhsish

Bayan takhsish adalah penjelasan Nabi dengan cara megkhusukan ayat-ayat yang bersifat umum. Dengan adanya pengecualian ini, maka hukum tidak berlaku pada yang mendapatkan pengecualian dengan pengecualian itu. Misalnya hadits yang menjelaskan masalah warisan diantara para Nabi: “kami para Nabi tidak diwarisi, sesuatu yang kami tinggalkan adalah sedekah”. Hadits ini sebagai pengecualian dari keumuman firman Allah tentang warisan yang diwajibkan bagi seluruh umat islam. Ayat tersebut yaitu:
كتب عليكم اذا حضر احدكم الموت الخ
 “ Allah mensyariatkan kepadamu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan”.
Dalam ayat ini, umat islam disyariatkan oleh Allah untuk mewariskan harta peninggalannya, yaitu bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Dengan fenomena keumuman ayat ini, datanglah hadits untuk memberikan kekhususan bahwa para Nabi tidak dikenakan kewajiban untuk mewariskan hartanya karena setiap harta yang ditinggalkan adalah sedekah.

g)      Hadits sebagai bayan Tasyri’
Bayan tasyri’ adalah penjelasan hadits Nabi yang mendesisikan suatu ketetapan hukum secara independen yang tidak didapati dalam nash-nash Al-Qur’an secara tekstual. Penjelasan itu muncul dengan sebab adanya permasalahan-permasalahan yang timbul diantara masyarakat. Disinalah hadits Nabi mengeluarkan penjelasan dan sekaligus keputusan dengan tidak berorientsi terhadap Al-Qur’an namun tetap ada bimbingan langsung dari sang pemilik semesta, Allah SWT.  Misalnya hadits Nabi: “seorang perempuan tidak boleh dipoligami bersama bibinya dari pihak ibu dan bibinya”.
Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang dilarang mempoligami perempuan bersamaan dengan bibinya. Disini Nabi memutuskan suatu hukum akan larangan itu. Dalam Al-Qur’an tidak ada sebuah ayat tersurat tentang larangan mengawini perempuan bersamaan dengan bibinya baik dari arah ayah maupun ibu. Hanya ada dalam Al-Qur’an keterangan-keterangan tentang dilarangnya menikahi perempuan beserta kelurganya, seperti ibu, saudara, anak dan sebagainya. Disinilah hadits mejelaskan haramnya menikahi bibi perempuan yang dinikahi tanpa berorientasi terhadap Al-Qur’an dalam  membuat keputusan itu.






















BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Al-Qur`an memang merupakan pedoman umat islam yang utama, namun isi dan redaksi dari Al-qur`an itu senditi masih sangat bersifat global. Maka dari itu kedudukan hadits dalam islam yang utama adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur`an yang masih global. Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan tiap-tiap ajaran kepada para sahabat setelah beliau mendapatkan penjelasan dari jibril.
Peran kedua adalah agar hadits menjadi pedoman ketika muncul persoalan-persoalan yang tidak secara spesifik terdapat dalam Al-Qur`an. Setelah masa Rasulullah SAW. Al-Qur`an dan Hadits dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan aturan lainya. Karena tidak menutup kemungkinan perseteruan akan terjadi di masa yang akan datang berhubungan dengan hukum dalam Al-qur`an.
Peran yang ketiga, menjaga agar ayat-ayat Al-Qur`an tidak secara sembarangan dilencengkan sehingga seolah ayat-ayat Al-Qur’an berkontradiksi. Penjelasan Rasulullah sudah merupakan penjelasan yang dapat dipahami bahwa juga telah ditafsirkan mendalam oleh para ulama.
Rasulullah yang bergelar uswatun hasanah segala ucapan dan kepribaianya adalah pencitraan dari Al-Qur`an. Sehingga umat islam yang mengikuti hadits-hadits rasulullah adalah mereka yang juga taat kepada Al-Qur`an
2.      Saran
Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu hadits selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu explisit, pada masa nabi tidak ada persoalan karena setiap ada masalah langsung diibicarakan dengan nabi.
Mengingat luasnya materi dari study hadits ini besar harapan kami untuk kelompok selanjutnya agar menguraikan materi sesuai dengan bahasan masing-masing, serta kepada pembimbing dalam hal ini dosen untuk selalu memberikan pengayaan. Tentunya dengan satu jutuan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita yang berhubungand dengan study hadits (ulumul hadits).



DAFTAR PUSTAKA
Fatah, MA.2009. Hadits-Haditas Imam Ahmad.Bandung:PT. Remaja Rosdakarya
Idri, Dr. 2010. Study Hadits.Jakarta:PRENADA MEDIA GRUP
Al-Qur`an Karim
Kamus Populer Bahasa Indonesia